Kerukunan dikaki Gunung Wilis

Selama di Pare saya juga menyempatkan diri ke Puhsarang. Kemanaaaaa? Iya, Puhsarang! Sebuah desa yang terletak di kecamatan Semen, Kediri. Tepatnya dikaki Gunung Wilis, Jawa Timur.
Tepat sehari sebelum puasa. Pada awalnya sih ga ada rencana, tapi berhubung dorongan rasa penasaran yang tinggi dan kebetulan jadwal kosong, saya dan teman-teman pergi kesana. Yaaa, itung-itung wisata menyambut puasa dengan pergi wisata religi melihat keanekaragaman dan kerukunan antar umat yang berbeda agama. Setidaknya mengetahui kalau Indonesia itu luas dan pentingnya menghargai kerukunan antar umat beragama.




Ada apa di Puhsarang? dan apa yang menarik? Mungkin menurut sebagian dari kita tak begitu menarik. Tapi bagi saya pribadi, disana saya sadar bahwa jangan lihat perbedaan sebagai suatu halangan. One soul, one blood, one heart... One love!!! Di Puhsarang terdapat sebuah Gereja Katolik, atau lebih dikenal Gereja Pohsarang atau Puhsarang. Menurut cerita Gereja Katolik di Pohsarang didirikan atas inisiatif pribadi dari Romo Jan Wolters CM dengan bantuan arsitek terkenal Henri Maclaine pada tahun 1936.




Sekilas bangunan gereja di Pohsarang mirip dengan perahu yang menempel pada sebuah bangunan mirip gunung. Bangunan yang mirip gunung ini melambangkan atau menggambarkan Gunung Ararat dimana dulu perahu Nabi Nuh terdampar setelah terjadi air bah, yang menghukum umat manusia yang berdosa. Sedangkan bangunan yang mirip perahu tadi menggambarkan atau mmelambangkan Bahtera atau Perahu Nabi Nuh, yang menyelamatkan Nabi Nuh dan keluarganya yang percaya kepada Allah, bersama dengan binatang-binatang lainnya.

Setelah berjalan kedalam kompleks, saya melihat sebuah gua. Penasaran lagi deh! Sayapun mencari tahu dengan bertanya pada penjaga setempat. Ternyata gua tersebut gua Maria, atau lebih dikenal Goa Maria Lourdes yang merupakan tiruan atau replika Goa Maria Lourdes yang ada di Perancis.




Dan yang paling menarik bagi saya adalah kerukunan antar umat beragamanya, disana terlihat semua rukun berbaur dalam satu kompleks. Mulai dari penjual makanan, penjual pernak-pernik, Satpam, sampai pengrajin patung yang setelah saya tanya dan ternyata berbeda keyakinan. Waaaaah... Sungguh pemandangan yang luar biasa. Saya merasakan kerukunan, perdamaian, dan ketentraman. Inilah Indonesia yang sebenarnya!!!





Sejuta kenangan di Pare


Ya, Setelah beberapa hari keliling kota Yogyakarta, saya melanjutkan perjalanan sesuai dengan tujuan utama saya. Pare! Mungkin bagi sebagian kita asing mendengar kata tersebut, apalagi bagi saya yang asli keturunan Padang yang berdarah Minang. Pare adalah sebuah kampung dimana banyak terdapat lembaga Bahasa Inggris, oleh sebab itu kita lebih sering mendengar Kampung Inggris.

Menuju Jombang

Dari Jogja saya naik kereta api bisnis Sancaka Pagi jurusan Surabaya, dan turun di stasiun Jombang. Setiba di Jombang, saya melanjutkan perjalanan menuju Pare. Karena ga tau jalan sama sekali, dan buta peta, ga ada jawaban lain selain rajin bertanya. Setelah bertanya sana-sini, dan ternyata tidak ada bus dari Jombang langsung menuju Pare. Saya disarankan naik bus jurusan Jombang - Malang, akhirnya saya naik bus "Puspa Indah" dengan tarif Rp. 4000,- sampai ke pertigaan Pulorejo.  Lagi-lagi bertanya! dan harus nyinyir. Saya bertanya lagi pada tukang ojek setempat, dan beliaupun menyarankan saya naik bus dari arah Malang tujuan Kota Kediri yang melewati Pare. Sejenak menunggu, bus "Puspa Indah" jurusan Kediri - Malang pun datang. Dengan tarif Rp. 3000,- saya turun diperempatan Tulungrejo, saya naik becak menuju Kampung Inggris dengan tarif Rp. 7000,- sayapun lega, karena sedikit lagi saya sampai di kampung yang bernama Kampung Inggris.. Lagi-lagi penasaran!

Di pare banyak hal yang tak terlupakan bagi saya. Mulai dari mendapat teman baru, suasana baru, hingga tata bahasa yang cukup asing buat saya. Semua masih berbekas dalam memori saya ketika bersepeda keliling kampung yang tenang, bermain layang-layang, sampai mengunjungi objek-objek wisata yang ada disana. Ya, menggunakan sepeda yang saya sewa Rp. 50.000,- per bulannya.

KTP sebagai jaminan


Dimulai dari Goa Surowono, yaitu goa bawah tanah yang terdapat aliran air didalamnya. Konon kata penduduk setempat, goa tersebut peninggalan Kerajaan Majapahit. Sayang, tidak semua goa yang dapat dilalui karena alasan keamanan dan ada sebagian pintu yang sudah ditutup dari zaman Jepang. Setelah kurang lebih 1 1/2 jam bejalan menelusuri goa, sayapun melanjutkan perjalanan menuju Candi Surowono. Bangunan candi merupakan hasil karya peninggalan sejarah sebagai tempat penyucian Raja Wengker, salah satu raja pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dari Mojopahit. Dibangun pada abad ke-15, Candi Surowono memiliki banyak keunikan. Baik dari segi arsitektu maupun relief yang menggambarkan cerita Arjuna Wiwaha, Bubhuksah, Gagang Aking, dan Sri Tanjung. Sayang, bagian yang masih utuh dari candi ini hanya tinggal kaki dan tubuhnya. Bagian atapnya sudah rusak dan runtuh. Huaaaaaaaaaah... Senang rasanya, dan tidak mengira bisa sampai ditempat seperti ini. Bangga jadi bagian dari Indonesia!


Candi Surowono

Goa Surowono

Anak layangan

Sebuah kejutan dari merekan yang dinamakan "TEMAN"



Setelah puas bersepeda mengitari Surowono, sayapun balik menuju penginapan. Selama saya di Pare, terlalu banyak pengalaman yang susah untuk saya lupakan. Suasana, teman, sampai keramah-tamahan masyarakat Pare. Jujur, pengalaman seumur hidup saya dapatkan ketika di Pare dengan bersepeda menuju Monumen Simpang Lima Gumul, dan itu saya lakukan ketika bulan puasa sembari menunggu bedug berbuka. Masih berbekas jelas dalam ingatan saya, kost dirumah seorang Polisi dengan kumis Jantan dan tato bergambarkan wajah putrinya dilengan kanan. Bermain layangan di Stadion "Candra Birawa" yang merupakan stadion kebanggaan masyarakat Pare yang digunakan muda-mudi berpacaran pada malam harinya sembari menunggu bedug berbuka. Belum lagi berkenalan dengan teman satu kost-an yang berbeda daerah satu sama lain yang akrabnya sudah seperti berteman lebih dari sepuluh tahun. Dan yang paling berkesan adalah sebuah kejutan dari teman satu kost-an pada saat hari ulang tahun saya, sungguh tak bisa dilupakan! Di kampung kecil seperti Pare saya masih bisa merasakan sebuah kehangatan arti dari persahabatan...

Cerita dari Yogyakarta


Dari perjalanan seorang teman, mereka banyak bercerita tentang indahnya kota Yogyakarta. Karena saya seorang yang jarang jalan-jalan dan belum pernah kesana, saya cuma bisa membayangkan..... Miris!


Mungkin ini kesempatan saya berbagi cerita pada dunia betapa bangganya saya jadi bagian dari Indonesia dan mungkin salah satu caranya melalui blog ini saya bisa berbagi. Semua berawal dari rasa penasaran dari teman-teman yang bercerita tentang nikmatnya sebuah perjalanan. *biasa laaah... Namanya teman kan pada suka manas-manasin. Tapi bagi saya, sebuah perjalanan bukan untuk diperlombakan, melainkan salah satu cara menikmati hidup dan sebagai modal untuk bercerita tentang sebuah pengalaman dimasa muda. Syukur-Syukur saya bisa menempuh perjalanan sepanjan khatulistiwa yang membentang.

Bagi kita yang awam, apa yang terlintas dalam benak kita ketika mendengar kata Yogyakarta? Pastinya tidak jauh dari Keraton, Malioboro, ada juga yang membayangkan Candi Prambanan, bahkan Borobudur *waduh! (dulunya saya juga gitu kok! hehehehe). Dan sayapun mulai mencari info tentang Yogyakarta, mulai dari gooling sampai bertanya pada teman yang udah kesana dan teman yang asli Jogja.
Setelah dapat kesempatan, saya pun mencoba berjalan untuk mengobati rasa penasaran. Ya! Saya ke Jogja, packing...packing...packing...hehehehe

Dari Bandung saya berangkat jam 8 naik kereta bisnis Lodaya Malam, betapa katroknya saya karena ini pengalaman pertama saya naik kereta selama di Bandung hahahaha. Setelah menempuh kurang lebih 9 jam perjalanan, saya pun sampai di Jogja tepatnya di Stasiun Tugu. Dan sesampai Stasiun Tugu, berjalan kaki menuju Jl. Malioboro (kan deket...hehhe) sambil menikmati pemandangan dimana masyarakat setempat mengawali aktivitas dan rutinitasnya sehari-hari. Sayapun bertanya-tanya sendiri, tujuan saya kesini mau ngapain? mau kemana lagi nih?!








Menginap di Kaliurang km13, tempat teman anak Pekanbaru yang kuliah di UIN Jogja. Berhubung sama teman, saya dapat kemudahan untuk pergi ketempat-tempat yang biasa dikunjungi wisatawan lokal, maupun mancanegara. Mulai dari Nol kilometer kota Yogyakarta, Taman Sari, Keraton, atau Beringin Sakti yang notabene kurang menarik buat saya. Justru saya lebih menikmati suasana berbaur dengan penduduk setempat dan mengunjungi tempat-tempat yang umum oleh penduduk lokal, tapi asing bagi pendatang. Agak terkesan sombong memang, tapi semua itu semata-mata hanya untuk melaksanakan tujuan awal, menikmati perjalanan dengan cara sendiri karena perjalanan bersifat pribadi bukan? hehehe

"Di jalanan.. Di Sayidan.... Angkat sekali lagi gelasmu kawan!!" (kata lagu Shaggydog)




Berhubung saya belum pernah ke Jogja, saya cukup penasaran dengan tempat ini. Pada dasarnya cerita ini datang bukan dari Shaggydog melainkan dari kawasan dimana band ini kerap meluangkan waktunya. Adalah Sayidan nama tempat itu, sebuah kampung kecil yang terletak di pinggir Kali Code, Jogja. Sayidan adalah sebuah kampung kecil yang begitu “eksotis” buat saya. Disana terangkum beragam manusia. Dari mulai Pak Mojo si ketua RT yang religius tapi juga memiliki sebuah tato di lengannya. Kemudian Mas Adit yang merupakan seorang Doggies (sebutan penggemar Shaggydog) yang kerap menuangkan air kedamaian namun tampak seperti anak kecil tatkala menonton konser. Rumahnya pun banyak dihiasi oleh atribut keagamaan dan birokrasi negara, patung bunda maria berjejer dengan sebuah gambar presiden SBY di rumah seorang Doggies, hanya akan terjadi di kampung Sayidan kawan. 

Puas dengan sedikit jawaban dari rasa penasaran, lalu saya diajak mencicipi kopi oleh temen saya yang terdapa dikawasan selokan Mataram. Ngopi pake arang yang dicelupin kedalam gelas, atau lebih dikenal dengan Kopi Joss? Biasa! Lalu?




Saya diajak nyobain Kopi Klotok dibelakang kampus UNY. Hah?!! Apa istimewanya? Bentuknya tak jauh beda dengan kopi biasa, cuma yang membedakan adalah kopi ini diseduh dengan air panas yang ditambahkan alkohol. Mungkin bagi sebagian penikmat kopi, kopi jenis ini haram. Tapi buat ngobatin rasa penasaran, saya mutusin untuk nyoba. Ternyata bener apa kata teman saya, sensasinya luar biasa! Ngopi yang biasa bikin mata melek, ini malah sebaliknya. Satu gelas yang strong cukup bikin saya puyeng yeng...yeng..yeng. Gimana ga puyeng coba, minum kopi panas dicampur alkohol yang disruput, sama aja minum tequilla pake sedotan! Yaaah, walaupun malam itu susah dibikin susah melek karena itu kopi, tapi setidaknya rasa penasaran saya terobati lantaran itu kopi. EKSOTIS! 

Esoknya, saya berangkat menuju Bantul yang terkenal dengan Pantai Selatan. Parangtritis? Iya, tapi objek saya bukan kesana. Nah loh, lalu apa? Gumuk Pasir.


                                                                       
Gumuk Pasir? Gumuk Pasir atau Sand Dune merupakan sebuah bentukan alam karena proses anging disebut sebagai bentang alam eolean (eolean morphology). Angin yang membawa pasir akan membentuk bermacam-macam bentuk dan tipe gumuk pasir. Istilah gumuk sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti gundukan atau sesuatu yang menyembul dari permukaan yang datar. Secara morfoganesa (proses terjadinya gumuk pasir), terjadinya Gumuk Pasir di sepanjang Pantai Parangtritis tak bisa lepas dari keberadaan Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Kali Opak, Kali Progo, dan Pantai Parangtritis. 

Gumuk Pasir memiliki keunikan lain, salah satunya perubahan temperatur yang ekstrem dari siang hari ke malam hari. Di siang hari, Gumuk Pasir akan berudara sangat panas sementara sangat dingin di malam hari, persis seperti temperatur di gurun Sahara. Fenomena unik seperti ini hanya ada satu-satunya di Indonesia. Masyarakat sekitar mengira Gumuk Pasir hanyalah fenomena alam biasa. Padahal, banyak ahli-ahli geologi dan geografi yang datang ke Gumuk Pasir untuk meneliti fenomena tidak biasa ini. Gumuk Pasir selain menjadi tempat wisata, kini juga menjadi pusat penelitian. Bahkan, Gumuk Pasir rencananya akan dimasukkan ke Situs Warisan Dunia UNESCO. Keindahan dan keunikan fenomena Gumuk Pasir menjadi inspirasi banyak fotografer untuk mengambil gambar. Gumuk Pasir bahkan pernah menjadi lokasi syuting video klip artis Agnes Monica dan band Letto.

Setelah puas berjalan-jalan menikmati sisi lain keindahan Yogyakarta, karena ga punya cukup waktu berlama-lama sebab saya harus ngelanjutin perjalanan ke Kediri. Tapi, setidaknya rasa penasaran saya terobati.... 

Kediri, I'm comiiiiiiiing.........!!!!