Belum Ada Judul

"Pegang tanganku, tapi jangan terlalu erat. Karena aku ingin seiring, dan bukan digiring." [Dee]

Ini sebenarnya bukan apa-apa. hanya sebuah catatan kecil yang tidak dilatar belakangi atas ego pribadi, melainkan sebuah ungkapan nurani yang terbatasi. dan semua ini saya tulis atas kemuakan yang saya alami. Semua bersinergi antara hati dan jemari.

Baiklah, saya mulai mencoba menulis satu persatu.. Bismillah.
Sebenarnya saya pribadi tidak ingin ada sebuah tulisan yang tidak penting ini menghiasi blog ini. Tapiiii.....

"Tuhan selalu bersama orang-orang yang berani." (Roni, Guru kesenian SMA di Malang, mantan tim rescue Mapala UM)

Salah satu teman terdekat saya berkata, jalan-jalan itu rekreasi. Teman dekat lain berkata bukan, melainkan untuk melarikan diri. Ada pula yang berdalih menghabiskan energi dan menghamburkan uang. Lain lagi dengan Kakanda Suhu, jalan-jalan itu sarana membuktikan ketegaran. Untuk membuktikan kekuatan dengan menyusuri alam dan berinteraksi dengan sejenisnya.
Bagi saya, jalan-jalan itu gabungan dari semuanya. Bagi saya, jalan-jalan itu bagai menemui kekasih satu jiwa, yang bisa diajak berbicara dari hati ke hati. Ketika seluruh benda asing yang mengkontaminasi pikiran musnah. Tidak ada yang lain, hanya satu tujuan MENCARI KETENANGAN MENUJU KEDAMAIAN. Melangkah dan melangkah lagi, karena saya pasti menuju kesana. Saat hati, pikiran, dan jiwa murni ialah diri sendiri tanpa ada siapapun. Ketika di titik itu, saya bisa bercermin dan melihat pantulannya dengan jelas. Membaca siapa dan apa yang ada pada diri saya sesungguhnya.

Singkat cerita, saya pergi beranjak dari tempat tidur dengan beberapa virus yang berkembang biak di kepala. Yang mengganggu keseimbangan hormon juga emosi dalam beraktifitas rutin. Maka detik itu juga, saya memutuskan pergi. Dengan mengatasnamakan kepercayaan pada orang sekitar, teman yang saya kenal sepintas, saya bertaruh melakukan perjalanan.. Dan bertekad menyusuri tiap lekuk tubuh Ibu Pertiwi.

Pertama bercerita mengenai kegelian saya sendiri dalam menghadapi suatu masalah. Katakanlah, saya muak bersikap defensif terhadap suatu inti cerita dalam satu tahun terakhir. Saya muak berdamai, bersikap berjiwabesar, dewasa, tegar, bijak dan ntah apa-apa yang bertitle rongsokan. Itu bullshit. Saya muak, berkata silakan. Muak mendengar pembicaraan mereka di depan saya. Muak mendengar sedikit-sedikit dia menghubunginya. Saat bercengkrama dengan penduduk sekitar, saat menunggu pergerakan yang lambat, saat manja pada kondisi yang salah, saat-saat kamu harus bisa mengalahkan diri sendiri, keluar dari zona nyaman dan meyakini kamu mampu tanpa harus menghubungi orang itu didepan saya. Oh please, mengerti? sialan!? Intinya, saya mendapati wangsit bahwa kalian boleh saja menjadi manusia pengejar prestise atau muda-mudi yang terpanggang gelombang asmara.. tapi jangan di depan saya. Jangan berani-berani di depan saya. Karena meminta maaf itu dari bawah, sembari merayap, sembari berdarah-darah. No merajuk. No manja-manjaan. No mengeluh. Titik.

Kedua, mengenai dominansi. Tentang visi dan misi bersama.. pendamping hidup. Maka kepada kamu-kamu sekalian yang usil dan dahulu selalu saya jawab hanya dengan titik tiga atau cengiran misterius, saya katakan.. Saya tahu apa yang saya cari. Demi Neptunus, saya tahu persis. No one's perfect, yes? Tapi, akan selalu ada disana. Seseorang yang digariskan oleh Tuhan untuk menjadi jodoh saya yang belum dipertemukan, literally.

Ketiga, mengenai pekerjaan. Mengenai rencana ke depan yang terarah menuju aman dan pasti. Haruskah memasuki Badan Umum Milik Negara dengan uang pensiun lumayan. Atau rencana studi ke tanah kelahiran Hitler dengan modal beasiswa. Atau angan menjadi Menteri demi memajukan negara. Yessss, itu juga bullshit. Saya benci rutinitas, saya benci dikendalikan, saya benci belajar. Sungguhpun saya benci bekerja dibawah tekanan. Seriously. Maka, saya bertekad untuk membatasi semua ini hingga 3-5 tahun ke depan. Setelah saya mampu menginvestasikan jaminan masa depan keluarga saya pada sesuatu yang konkret, yang bisa maju dan berkembang tanpa harus ada saya. Lalu kemudian saya akan pamit kepada Ibu, untuk pergi mengelilingi dunia. Membangun keluarga kecil Wild Thornberry milik sendiri. Meliput, menulis, mengabadikan momen langka. Berkarya dengan hidup nomaden. Hidup berkelana. Hingga menemukan satu tempat untuk mencari ketenangan menetap dalam kedamaian. Like a fairytale, tapi mungkin bagi yang percaya.

Pada intinya, saya berhasil beristirahat! Menemukan kebebasan dan meludahi semua kemuakkan yang saya alami. Berteman aliran bintang-bintang dan fullmoon sepanjang perjalanan. Meski malam belum cukup untuk menikmati keindahan negeri ini. Tapi, saya berterimakasih, karena Allah telah mengizinkan saya menikmati indah tubuhmu.. Ibu Pertiwi. Terimakasih..

"Bapak, nanti aku sumbangin satu ginjal buat Bapak.
Tapi aku mau mengenal lebih dekat Ibu Pertiwi dulu ya pak!" |
"Ah, Bapak juga kalau masih punya kesempatan mau. Kamu beruntung Nak. Diberikan banyak kesempatan untuk hal-hal yang gak bisa Bapak alami dulu."
Iya, Ibu Pertiwi itu bagus sekali Pak.
Bukankah Bapak yang menyuruh aku untuk terus melangkah menuju puncak tanpa mengenal lelah?
Meski air minum tak pegang, jaket hanya sehelai, dan angin beku terus menusuk telinga?
Bapak.. Bersama bulan yang dahsyat. Menemani agar tak pernah menyerah. Aku mencumbumu Ibu Pertiwi.


Aku

Kalau sampai waktu ku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli 
Aku mau hidup seribu tahun lagi.

By : Chairil Anwar, 1946



Diam


"...Saya Lebih Baik Diam"



Jika saya bercerita sekarang, Maka itu hanya akan membuat sebagian orang memaklumi saya,Dan sebagian lagi akan tetap menyalahkan saya,Tetapi itu juga akan membuat mereka memaklumi dunia yang seharusnya tidak dimaklumi,Dan tidak ada yang dapat menjamin apakah semua dapat memetik hal yang baik dari kemakluman itu,Atau hanya akan mengikuti keburukannya,Maka lebih baik saya diam.



Jika saya bersuara sekarang, 
Maka itu akan membuat, 
Saya terlihat sedikit lebih baik, 
Dan beberapa lainnya terlihat lebih buruk sebenarnya, 
Maka saya lebih baik diam. 


Jika saya berkata sekarang, 
Maka akan hanya ada caci maki, 
Dari lidah ini, 
Dan teriakan kasar tentang kemuakan, 
Serta cemoohan hina pada keadilan, 
Maka saya lebih baik diam. 


Saya hanya akan berkata pada Tuhan, 
bersuara pada yang berhak, 
Berkata pada diri sendiri, 
Lalu diam kepada yang lainnya.


Lalu biarkan seleksi Tuhan, 
Bekerja pada hati setiap orang.

( NAZRIL IRHAM )