Lombok Part Dua (V)



Yap! Akhirnya saya balik lagi kesini, Pantai Tanjung Aan, Lombok Tengah. Tanjung Aan merupakan pantai yang masih berada dalam satu garis pantai dengan Pantai Kuta (kini Mandalika) di Lombok Tengah. Untuk mencapai kesini cukup mudah karena Tanjung Aan berlokasi di bagian selatan Lombok Tengah dengan jarak tempuh sekitar 90 menit perjalanan dari Kota Mataram dengan kondisi jalan baik. Rutenya Mataram – By Pass BIL – Kuta – bundaran Mandalika Resort (Novotel) belok kiri – pertigaan setelah tanjakan belok kanan – Tanjung Aan. Tetangga Pantai Mandalika dan Seger.

Pantai yang sepi, berpasir putih, air laut jernih, ombak tenang, batu karang eksotik dan sinar matahari penuh untuk berjemur, cukup untuk membuat saya berdecak kagum. Di pantai ini kita bisa merasakan sensasi berjalan kaki dengan terapi butiran pasir putih sebesar biji merica itu. Aktivitas berenang, berjemur, keliling dengan perahu boat ataupun sekedar mengagumi  keindahan panorama ciptaan Tuhan ini dari atas bukit bisa dilakukan di pantai ini. Fasilitas masih minim hanya ada lahan parkir kendaraan, musholla kecil, kamar mandi bilas dan sumur air bersih. Pedagang ikan bakar segar, pedagang kain serta cinderamata khas Lombok akan ‘menemani’ kita selama berwisata di pantai ini.



Hal yang membuat Tanjung Aan sedikit lebih istimewa dibandingkan dengan pantai lainnya adalah keunikan pasir putih biji mericanya. Iya, jika diperhatikan baik-baik ada perbedaan ukuran butir pasir merica di antara pantai Tanjung Aan sebelah barat dengan yang di timur. Di sebelah barat, ukuran butir pasir putihnya lebih kecil sehingga berbentuk lebih halus daripada yang di sebelah timur. Proses gradasi batu karang oleh air laut sehingga menjadi serpihan-serpihan kecil, kemudian menjadi butiran dan tersapu oleh air laut ke bibir pantai setiap tahunnya menyebabkan volume pasir di Tanjung Aan bertambah sekian sentimeter.


Tak henti-hentinya saya berucap syukur. Bagaimana tidak, ini baru sebagian kecil dari tempat yang ada di Indonesia yang bisa saya sambangi. Apa ada alasan untuk mengatakan bahwa keindahan alam Indonesia itu masih kurang keren buat dikunjungi??




Lombok Part Dua (IV)


Masih belum selesai bercerita mengenai Desa sade.. Secara umum, sebagai suku Sasak asli, masyarakat Sade masih menganut kepercayaan Wektu Telu yaitu kepercayaan Islam yang memiliki unsur-unsur Hindu, Buddha, maupun kepercayaan tradisional kuno lainnya. Meski demikian, mereka tetap melaksanakan salat wajib lima waktu. Kaum perempuan pada Masyarakat Sade masih tetap mahir menenun. Mereka memproduksi kain tenun ikat Lombok yang indah dan menawan. Saya masih bisa menyaksikan mereka menenun dan langsung menjual hasil tenunannya itu pada para pengunjung. Selain itu, penduduk setempat juga membuat perhiasan-perhiasan atau pernak-pernik atau aksesoris khas Sasak seperti gelang, kalung, anting, dan cincin. Pernak-pernik tersebut bisa dijadikan cinderamata untuk dibawa pulang. Harganya pun tak mahal, sekitar 5000 rupiah per satuan. Harga ini juga masih bisa dinego kalau kita belinya banyak. Berbeda dengan kain tenunan yang cukup menguras dompet.


Memang tak dapat dipungkiri, Desa Sade tetap dipertahankan sebagai desa asli suku Sasak ditujukan untuk kepentingan pariwisata. Oleh pemerintah setempat, Desa Sade dijadikan sebagai objek wisata bagi para wisatawan, baik domestik maupun internasional karena banyak desa asli suku Sasak yang sudah punah atau berubah bentuk mengikuti perkembangan zaman. Hanya Desa Sade yang masih bertahan dan tetap dipertahankan keasliannya.





Upaya mempertahankan keaslian desa Sasak Sade tersebut didukung pula sepenuhnya oleh masyarakat setempat. Ini terlihat dari pola dan gaya hidup mereka yang masih bersahaja dan tradisional, tanpa adanya pengaruh unsur-unsur modernisasi yang berarti. Bahasa yang mereka gunakan sehari-hari pun masih bahasa Sasak asli. Demikian pula dengan rumah mereka yang masih asli khas Sasak, selain beratap ijuk, lantai dasar rumah mereka juga terbuat dari tanah liat yang sudah mengeras seperti batu. Pintu masuk rumah pun tak melebihi tinggi orang dewasa. Hal ini dimaksudkan agar setiap tamu yang datang ke rumah mereka akan segera menunduk ketika melewati pintu masuk tersebut. Ini merupakan simbol untuk menghormati si tuan rumah atau pemilik rumah.Yang paling unik dan membuat saya tercengang dari rumah khas Sasak tersebut adalah cara mereka membersihkan lantai rumah mereka. Kalau orang-orang di perkotaan atau modern selalu menggunakan zat pembersih lantai, namun tak demikian dengan rumah Sasak. Untuk mengepel lantai rumah, mereka menggunakan kotoran kerbau yang disebar ke seluruh lantai. Penggunaan kotoran kerbau ini sebenarnya ada maksudnya. Konon katanya, kotoran kerbau itu mengandung zat yang mampu mengusir nyamuk dan memberikan efek hangat di dalam ruangan rumah, terutama ketika di malam hari atau suhu udara dingin. Yang membuat saya takjub lagi, ketika sudah mengering, kotoran kerbau tersebut tak meninggalkan bau di dalam ruangan rumah mereka. Itulah yang saya rasakan ketika memasuki rumah tradisional suku Sasak di Desa Sade.

Hiasan Dinding di Rumah Tani

Masjid Suku Sasak
Interior
Berkunjung ke Desa Sade dapat disebut sebagai wisata budaya. Dari hasil kunjungan itu membuat saya semakin sadar bahwa budaya bangsa yang dimiliki negeri ini memang sangat kaya dan beragam. Desa Sade merupakan salah satu bagian kecil dari kekayaan budaya tersebut. I LOVE INDONESIA!!

Tanjung Aan.. I'm comiiiing...!!!

Lombok Part Dua (III)

Setelah menikmati tiga gili, saya melanjutkan perjalanan ke Lombok Tengah yang tepatnya ke Desa Sade. Lalu apa istimewanya Desa Sade? Desa Sade merupakan desa Sasak asli yang masih dipertahankan keasliannya. Desa Sade terletak di daerah Rembitan tak jauh dari Kota Mataram, Lombok. Dari arah Bandara Udara Internasional Lombok, Desa Sade sudah tak begitu jauh lagi, sekitar kurang setengah jam perjalanan dengan bis. Di desa Sade, saya masih bisa menyaksikan bentuk rumah Sasak asli yang beratap ijuk dengan tradisi masyarakat setempat yang masih asli. Meski letak desa itu tepat di pinggir jalan raya yang beraspal mulus dan banyak dilalui oleh kendaraan bermotor, Sade tetap bertahan sebagai desa asli suku Sasak. Modernisasi yang menyerbu Pulau Lombok sepertinya tak kuasa memengaruhi desa tersebut.


Alhamdulillah sekali rasanya saya bisa menyambangi sebuah desa yang merupakan sebuah aset sejarah yang dari pulau Lombok. Bagaimana tidak, mereka bisa mempertahankan keasliannya ditengah kemajuan zaman. Luar biasa! Bahagianya saya tidak cukup sampai disitu, kebetulan sekali ketika saya sampai di Desa Sade ada acara Nyunatang. Apa itu Nyunatang? Menurut salah seorang pengamat budaya, yang sekaligus Kepala Desa Tanjung, Lombok Utara, Datu Tashadi Putra, tradisi Nyunatang sendiri selain merupakan acara adat, juga termasuk sebagai acara keagamaan. Karena  Suku Sasak di Lombok mayoritas beragama Islam, dimana dalam ajarannya diwajibkan bagi seorang anak laki – laki agar di khitan, atau di sunat.

Upacara Nyunatang
Bagi masyarakat Sasak, upacara nyunatang biasa dilaksanakan pada hari kamis, saat puncak acara Maulid. Itu karena erat kaitannya dengan kelahiran Nabi Muhammad. Bermakna simbolis memang. Dari pengaturan, pembentukan, hingga pembinaan fase awal untuk menjadi muslim. Itu sebabnya, Nyunatang dirangkaikan dengan peringatan akhir kelahiran Nabi Muhammad.

Dan beruntung juga saya dan teman-teman diberi kesempatan untuk mengenakan pakaian adat Lombok. Setidaknya, bisa merasakan sebuah hal yang rasanya diluar perkiraan saya. Sungguh bahagianya!

Me-narsis-kan diri (lagi)
Setelah puas mengelilingi Desa Sade dan melihat tradisi penduduk setempat, saya dan teman-teman ingin melihat lukisan Tuhan yang mengesankan di Lombok Tengah, yaitu Tanjung Aan. Sebuah pantai yang berada satu garis dengan Pantai Kuta, Lombok Tengah (Mandalika).. Apa bagusnya? Lanjuuuut?? boleh, kan?

Lombok Part Dua (II)

Setelah menempuh perjalanan satu setengah jam, saya dan teman-teman sampai di Pelabuhan Bangsal, yang terletak di daerah Pemenang, Lombok Utara, yang merupakan tempat dimana kita bisa nyebrang ke tiga gili, yaitu Gili Meno, Gili Air, dan Gili Trawangan. Nah, setelah sampai di Pelabuhan Bangsal kita tinggal memilih tujuan kita kemana, apakah ke Gili Trawangan, Meno atau Air dengan tarif berbeda:
-. Bangsal - Gili Trawangan = 10 ribu rupiah
-. Bangsal - Gili Meno = 9 ribu rupiah
-. Bangsal - Gili Air = 8 ribu rupiah
Tanpa pikir panjang, saya dan teman-teman berangkat menuju Gili Trawangan. Bukan saya yang mau.. Tapi teman saya yang ngajak.. Huahahahaha
Lama penyebarangan memakan waktu kurang lebih 45 menit, dan usahakan menyeberang sebelum tengah hari, karena arus untuk menyeberang kalau lewat tengah hari biasanya agak sedikit besar.. Itu sih biasanya, dan info yang saya dapat dari bertanya, kalau kurang meyakinkan, coba sendiri dulu deh hahahaha


Yap! Setelah 45 menit menyeberang, sampailah saya di Trawangan.. Yihaaaa...!! Senang sekali rasanya bisa kesini lagi....
Tak perlu berlama-lama, saya dan teman-teman akhirnya mendapatkan penginapan. Kegiatan-pun saya lakukan seperti biasa, menikmati pasir putih, ber-snorkeling ria di tiga Gili, bersepeda keliling pulau, dan pastinya bercanda dengan teman-teman. Complete!


Walaupun menurut sebagian orang ini adalah hal yang biasa dilakukan, tapi bagi saya tak ada salahnya juga dituliskan disini karena alasannya perjalanan itu kan bersifat pribadi. Perjalanan kita, perjalananku bukanlah perjalananmu, tapi bagaimana cara kita menikmatinya. Setuju, kan?

Lagian gak ada undang-undangnya yang mengatur bahkan melarang untuk berbagi, kali aja ada manfaatnya.. hahahahaha


Baiklah,.. Memang, rasa senang sulit untuk menentukan tolak ukurnya. Tapi, ada satu hal yang membuat saya jalan kali ini senang bukan kepalang, apalagi kalau bukan jalan bersama teman-teman. Dan yang lebih menakjubkan lagi buat saya adalah bisa menikmati matahari terbit di Gili Trawangan.

Iya, menyaksikan mentari keluar dari tidurnya sambil jalan kaki keliling pulau, seakan-akan memberikan saya kesempatan merasakan menjadi bagian dari penduduk Gili Trawangan. Sungguh kenikmatan yang tidak terlupakan.
Selamat pagi mentari
Setelah mentari semakin meninggi, saya pun ingin menikmati keindahan bawah lautnya. Dengan menyewa satu set perlengkapan snorkeling seharga 35ribu, dan membeli tiket bottomglass untuk menikmati keindahan bawah lautnya, rasanya cukup untuk menjawab pertanyaan bahwasanya saya cinta Indonesia. Tidak berlebihan, bukan? hehehehe





Setelah puas menikmati keindahan Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air. Sayapun melanjutkan perjalanan ke Lombok Tengah. Iya, tepatnya Desa Sade... Lanjuuuut?

Lombok Part Dua (I)

Alhamdulillah sekali saya masih diberi kesempatan untuk mendatangi pulau ini lagi. Bermula dari iseng liat-liat tarif promo tiket pesawat, dan kebetulan saya dapat kesempatan itu. Hahahaha.. Lomboook, kita ketemu lagi!! Gak bosen kan lu sama gue? Gak bosen kan lu nerima gue?? 


Ini bukan narsis. Tapi, belajar masuk bandara. Hahahaha

Senang sekali rasanya bisa balik ke Lombok lagi.. Iya, bagi saya Pulau Lombok bagaikan lukisan Tuhan yang tidak ada habis-habisnya untuk diceritakan. Kali ini tujuan saya sama seperti tahun kemaren, walaupun masih banyak lagi tempat yang belum saya kunjungi. Alasannya, yaaa atas permintaan teman-teman. Gili Trawangan, Desa Sade Suku Sasak, dan Tanjung Aan-Kuta.


Akhirnya, setelah menunggu beberapa minggu, hari yang ditunggu-pun tiba. Dimulai dari mana yaa ceritanya? Hmmm.. Bali? Tak banyak yang bisa saya ceritakan tentang kegiatan saya selama di Bali. Maklum, cuma satu malam. Saya hanya menikmati senja di Pantai Kuta dan malam di Legian. Tidak mau berlama-lama menghabiskan waktu disini. Dan besok subuhnya langsung menuju menuju pelabuhan Padang Bai untuk menyeberang ke Lombok. 


Sesampai di Padang Bai, saya disambut pagi yang cerah. Pastinya, tak lupa menyempatkan diri untuk berfoto-foto ria me-narsis-kan diri.. Nyahahahaha. Selama 3 jam di kapal, penyakit saya kambuh. Bukan saya mabuk laut, tapi kebiasaan yang gak mau diam, jalan kesana-kemari sampai menyelinap masuk ke kabin Nakhoda kapal hanya untuk menyempatkan diri mengobrol dan bercanda dengan kusir kapalnya. 



Akhirnya setelah 3 jam, sayapun sampai di Pelabuhan Lembar. Tak butuh waktu lama, saya dan teman-teman menyewa angkot untuk diantarkan menuju Pelabuhan Bangsal. Tau dong, yaa tujuannya kemana?? Iya, teman-teman saya mau ke Gili Trawangan katanya. Dari pelabuhan Lembar menuju pelabuhan Bangsal menempuh waktu satu setengah jam perjalanan via Ampenan, Mataram, dan Senggigi. Selama perjalanan saya tak bosan-bosannya menikmati pemandangan yang luar biasa. Suasana yang tenang, suara ombak yang memanjakan telinga, birunya laut yang memanjakan mata, serta alunan daun kelapa melengkapi indahnya suasana.Tak terbantahkan, Indonesia itu keren sekali untuk dinikmati, makanya tak salah lagi, banyak orang yang ingin mencumbui Ibu Pertiwi. 

Seperti biasa, mampir dulu dijalan hanya untuk menyempatkan diri mengambil beberapa gambar sebagai kenang-kenangan untuk diceritakan dan berbagi kepada teman-teman. Senggigi emang gak ada habisnya untuk dinikmati!
Me-narsis-kan diri
Setelah puas mengabadikan gambar, sayapun melanjutkan perjalanan. Tapi, lagi-lagi angkotpun berhenti. Iya, sesampainya di Malimbu, saya dan teman-teman menyempatkan diri lagi untuk melepas dahaga menik mati air kelapa sambil menikmati indahnya suasana indahnya Malimbu.